The past is strapped to our backs. We do not have to see it, we can feel it. The past is not a package one can lay away. A man cannot free himself from the past more easily than he can from his own body. The past is our definition. We may strive, with good reason, to ascape it, or to ascape what is bad in it, but we will ascape it only by adding something better to it.
Don't try to look at the days gone by with a forlorn heart. They were simply the dots we can now connet with our present, to help us drawthe outline of a beautiful tomorrow. What you need to know about the past is that no matter what has happend, it has all worked together to bring you to this very moment. And this is the moment you can choose to make everything new. Right now!!
"My friend's quote...Yesterday is history...tomorrow is mystery, but today is a gift.."
Senin, 07 Mei 2012
Minggu, 06 Mei 2012
Secuil uneg-uneg
Aku membaca sebuah buku yang membangkitkan semangat untuk bermimpi, agar tidak takut untuk bermimpi. Indahnya jika aku memiliki keberanian seperti orang dalam buku itu untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Mewujudkannya dan menjadikannya nyata. Melihat betapa dunia ini luas, dunia ini penuh dengan warna. Bahwa ada manusia lain di belahan tempat nun jauh disana. Aku ingin melihatnya. Sangat ingin. Jangankan melihat dunia, aku ingin mencicipi tempat-tempat asing dii tanah airku sendiri. Buku itu berkata, "Jelajahi Eropa, jamah Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia." Sebuah kalimat yang membuat jantungku berdebar, dan pikiranku melayang.
Aku merasa diriku ini begitu kecil dan nyaliku pun lebih kecil lagi. Aku terlalu takut untuk melangkahkan kakiku keluar dari cangkang kerang ini. Dalam cangkang ini aku merasa tidak berkembang. 2 Orang yang pernah aku temui mengatakan, bahwa mereka lebih menyukai pekerjaan wiraswsta daripada PNS. Aku masih bertanya-tanya mengapa mereka lebih menyukai seperti itu? PNS akan membuatmu terjamin dimasa depan. Namun aku salah. Aku kembali di buat bimbang oleh buku yang aku baca itu. "Pekerjaan itu akan menggiring ke kutub moderat. Semakin lama akan semakin berkurang tantangannya.Pekerjaan itu tidak memberikan kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial dan kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang di ramalkan kesudahannya. Kau akan terjamin secara sederhana, terlindungi oleh sistem, stabil secara psikologis, mapan secara sosial, dan semua itu akan membuat bosan." Aku pikir buku itu ada benarnya. Untuk seseorang yang berkepribadian bebas sepertiku, itu tidak cocok.
Namun apa daya ku...aku bimbang....seseorang sedang membutuhkanku saat ini, hingga aku tidak tega untuk meninggalkannya walaupun untuk sementara. dan Hidup adalah sebuah pilihan. Mimpiku begitu tinggi, namun aku melupakan sesuatu saat sedang bermimpi, bagaimana cara aku dapat terbang setinggi itu??
"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu." Tuhan akan selalu memeluk mimpi-mimpi yang aku punya, aku percaya itu. Walaupun mimpi itu belum terealisasi atau seandainyatidak terelisasi, menyimpannya dalam sebuah tempat kecil dihati, membuat perasaan sudah menjadi hangat. Enah, tapi itu semua menjadi salah satu alasan untuk tetap bertahan hidup. Alasan untuk hidup. Hidup untuk bermimpi, mewujudkannya (berusaha), terjatuh lalu berdiri sekuat tenaga, diinjak namun tetap berusaha tumbuh seperti rumput liar. Menjadi penting bagi orang lain, menjadi obat untuk orang lain, menjadi kekuatan bagi orang lain...itu juga sebuah mimpi. Mimpi ku.
Beruntung aku dipinjami buku yang saat ini telah aku buka berulang-ulang, buku tentang mimpi, sebuah buku dengan sampul seorang pria yang sedang termenung mmenatap sebuah desa bernama "Edensor".
Aku merasa diriku ini begitu kecil dan nyaliku pun lebih kecil lagi. Aku terlalu takut untuk melangkahkan kakiku keluar dari cangkang kerang ini. Dalam cangkang ini aku merasa tidak berkembang. 2 Orang yang pernah aku temui mengatakan, bahwa mereka lebih menyukai pekerjaan wiraswsta daripada PNS. Aku masih bertanya-tanya mengapa mereka lebih menyukai seperti itu? PNS akan membuatmu terjamin dimasa depan. Namun aku salah. Aku kembali di buat bimbang oleh buku yang aku baca itu. "Pekerjaan itu akan menggiring ke kutub moderat. Semakin lama akan semakin berkurang tantangannya.Pekerjaan itu tidak memberikan kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial dan kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang di ramalkan kesudahannya. Kau akan terjamin secara sederhana, terlindungi oleh sistem, stabil secara psikologis, mapan secara sosial, dan semua itu akan membuat bosan." Aku pikir buku itu ada benarnya. Untuk seseorang yang berkepribadian bebas sepertiku, itu tidak cocok.
Namun apa daya ku...aku bimbang....seseorang sedang membutuhkanku saat ini, hingga aku tidak tega untuk meninggalkannya walaupun untuk sementara. dan Hidup adalah sebuah pilihan. Mimpiku begitu tinggi, namun aku melupakan sesuatu saat sedang bermimpi, bagaimana cara aku dapat terbang setinggi itu??
"Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu." Tuhan akan selalu memeluk mimpi-mimpi yang aku punya, aku percaya itu. Walaupun mimpi itu belum terealisasi atau seandainyatidak terelisasi, menyimpannya dalam sebuah tempat kecil dihati, membuat perasaan sudah menjadi hangat. Enah, tapi itu semua menjadi salah satu alasan untuk tetap bertahan hidup. Alasan untuk hidup. Hidup untuk bermimpi, mewujudkannya (berusaha), terjatuh lalu berdiri sekuat tenaga, diinjak namun tetap berusaha tumbuh seperti rumput liar. Menjadi penting bagi orang lain, menjadi obat untuk orang lain, menjadi kekuatan bagi orang lain...itu juga sebuah mimpi. Mimpi ku.
Beruntung aku dipinjami buku yang saat ini telah aku buka berulang-ulang, buku tentang mimpi, sebuah buku dengan sampul seorang pria yang sedang termenung mmenatap sebuah desa bernama "Edensor".
Jumat, 04 Mei 2012
Catatan Bidan 1
Catatan Bidan 1…
Awal tulisan ini. Entah apa yang ingin aku tulis, namun
sesuatu yang pasti aku ingin ada sebuah catatan perjalanan selama aku menjalani
profesiku sebagai seorang yang disebut BIDAN.
Catatan ini aku mulai dengan sebuah perasaan setelah aku
lulus dari tempatku selama 3,5 tahun belajar mengenai awal kehidupan, wanita,
dan anak. Ternyata memang betul masa-masa kuliah adalah masa yang paling
menyenangkan. Setelah aku lulus, dimulailah masa yang disebut pengangguran.
Luntang-lantung kesana kemari mencari pekerjaan. Dan pada saat itu aku pun sama
sekali belum mengantungi lisensi sebagai bidan. Ijazah boleh tertulis “ Mutiara
Dewanti, A. Md. Keb.”, tapi itu semua belum cukup. Inilah hidup nyata yang
harus dihadapi sebagai calon bidan yang sesungguhnya setelah lulus kuliah.
Tidak perlu menganggur lama, cukup 1 bulan lebih sedikit saja, aku sudah
menjabat sebagai “Asisten Bidan”.
Orang awam mungkin menganggap jabatan itu adalah sesuatu
yang keren. Salah. Asisten bidan bagiku adalah sebuah batu untuk aku melakukan
ancang-ancang melompat tinggi, asisten bidan adalah sebuah lapangan luas dimana
aku mempersiapkan pesawatku agar dapat lepas landas dan terbang tinggi, dan
asisten bidan adalah sebuah ruang tunggu dimana aku mempersiapkan mental dan
fisik jika nanti tiba saatnya aku dipanggil ke ruang pesta sesungguhnya.
Itu semua benar adanya. Di sebuah Bidan Praktek Swasta aku
membulatkan tekad untuk belajar. Disebuah desa dan tempat yang tentu saja aku
pikir aku tidak menyukainya. Aku bertemu dengan seorang bidan yang baik. Sebut
saja bidan Martin.Sedikit deskripsi tentangnya…baik, cantik, murah senyum dan
tegas. Beruntung sekali aku menjadi asistennya.
Bidan Martin, S.ST., dari gelarnya saja sudah pasti beliau lulusan
D4 Kebidanan. Entah ilmu seperti apa yang beliau dapatkan di sebuah universitas
di kota Apel yang kebanyakan mahasiswanya berasal dari daerah timur itu.
Mengapa aku berbicara seperti ini? Aku setuju tentang pernyataan bahwa “ilmu
dan praktiknya itu berbeda”. Namun itu semua harus real.
Saya kecewa. Baru beberapa hari saya bekerja, ilmu dan
praktik itu berbeda namun tidak rasional.
Dimulai dengan obat kebangsaan. Menyebutnya saja saya ingin tertawa. Tahukah
apa itu obat kebangsaan ? Pamol, Dexa, CTM. Benar sekali, obat ini paling
sering ada dalam tiap terapi. ISPA, meriang, Febris, Hipertensi, obat
kebangsaan selalu ada.
Belum ada seminggu, saya sudah melakukan satu kesalahan.
Saat saya melakukan homecare dan harus memberikan suntikan pada seorang kakek,
tidak sengaja jarum suntik itu mengenai tangan saya. Bukan mengenai namun lebih
tepatnya menusuk jari saya. Saya panic. namun saya tetap menggunakan jarum yang
tidak steril itu untuk memberikan suntikan kepada kakek. Andai saya membawa
jarum suntik yang lain, pasti saya akan menggunakannya. Setelah menyuntik
timbul perasaan bersalah dan juga khawatir… bagaimana jika kakek itu sampai
terkena HIV/AIDS gara-gara keteledoran saya. Saya benar-benar merasa bersalah.
Namun kita tutup dulu cerita penyesalan ini sampai sini.
Kembali ke klinik. Ternyata bidan Martin menyediakan
fasilitas untuk melakukan pemeriksaan cek gula darah, kolesterol, dan asam
urat. Bagus sekali bukan, dengan begini pasien dapat dengan mudah memeriksakan
kesehatan. Awal mula saya mengamati bagaimana cara melakukan pemeriksaan
tersebut. Saya melihat bidan Martin melakukan pemeriksaan pada seoran pasien
yang ingin mengetahui gula darahnya. Oww…ternyata seperti itu caranya. Saya
bisa jika nanti harus melakukannya sendiri. Kemudian datang lagi seorang pasien
yang ingin melakukan cek gula darah, sewaktu itu ada bidan Martin di klinik
jadi saya tidak harus mengerjakannya. Namun…tunggu…ada yang aneh..bukannya
seharusnya setiap melakukan pemeriksaan darah, jarum pada lanset harus diganti,
mengapa ini tidak?? saya simpan rasa penasaran itu sampai pemeriksaan selesai.
Setelah pemeriksaan selesai, saya bertanya, “ Bu, jarum dilansetnya nggak
diganti yah?” Dan tahu apa jawabannya, “ Iya, memang harus diganti. Tapi gimana
lagi jarumnya sudah habis.”
Tahukah betapa saya merasa bersalah sekali karena menyuntik
seorang kakek dengan jarum bekas tusukan jari saya. Dan sekarang saya melihat
satu jarum yang digunakan untuk menusuk jari banyak pasien, ckckck…
Astagfirullahaladzim…
Satu hal yang saya lakukan bertentangan dengan ilmu yang
saya dapat dan juga hati nurani saya. Belum ada seminggu saya menjadi asisten,
namun pengalaman yang tidak baik dicontoh yang saya dapatkan. Saya tahu tarif
berobat ditempat ini relative murah. Untuk anak-anak hanya 15 ribu, sedangkan
dewasa 20 ribu. Jika saya benar-benar menjadi seorang bidan dan memiliki klinik
sendiri, saya berani memasang tariff sedikit lebih mahal asal fasilitas dan
pelayanan terjamin. Catatan seorang bidan 1 : Ada harga ada nilai.
Langganan:
Postingan (Atom)