Catatan Bidan 1…
Awal tulisan ini. Entah apa yang ingin aku tulis, namun
sesuatu yang pasti aku ingin ada sebuah catatan perjalanan selama aku menjalani
profesiku sebagai seorang yang disebut BIDAN.
Catatan ini aku mulai dengan sebuah perasaan setelah aku
lulus dari tempatku selama 3,5 tahun belajar mengenai awal kehidupan, wanita,
dan anak. Ternyata memang betul masa-masa kuliah adalah masa yang paling
menyenangkan. Setelah aku lulus, dimulailah masa yang disebut pengangguran.
Luntang-lantung kesana kemari mencari pekerjaan. Dan pada saat itu aku pun sama
sekali belum mengantungi lisensi sebagai bidan. Ijazah boleh tertulis “ Mutiara
Dewanti, A. Md. Keb.”, tapi itu semua belum cukup. Inilah hidup nyata yang
harus dihadapi sebagai calon bidan yang sesungguhnya setelah lulus kuliah.
Tidak perlu menganggur lama, cukup 1 bulan lebih sedikit saja, aku sudah
menjabat sebagai “Asisten Bidan”.
Orang awam mungkin menganggap jabatan itu adalah sesuatu
yang keren. Salah. Asisten bidan bagiku adalah sebuah batu untuk aku melakukan
ancang-ancang melompat tinggi, asisten bidan adalah sebuah lapangan luas dimana
aku mempersiapkan pesawatku agar dapat lepas landas dan terbang tinggi, dan
asisten bidan adalah sebuah ruang tunggu dimana aku mempersiapkan mental dan
fisik jika nanti tiba saatnya aku dipanggil ke ruang pesta sesungguhnya.
Itu semua benar adanya. Di sebuah Bidan Praktek Swasta aku
membulatkan tekad untuk belajar. Disebuah desa dan tempat yang tentu saja aku
pikir aku tidak menyukainya. Aku bertemu dengan seorang bidan yang baik. Sebut
saja bidan Martin.Sedikit deskripsi tentangnya…baik, cantik, murah senyum dan
tegas. Beruntung sekali aku menjadi asistennya.
Bidan Martin, S.ST., dari gelarnya saja sudah pasti beliau lulusan
D4 Kebidanan. Entah ilmu seperti apa yang beliau dapatkan di sebuah universitas
di kota Apel yang kebanyakan mahasiswanya berasal dari daerah timur itu.
Mengapa aku berbicara seperti ini? Aku setuju tentang pernyataan bahwa “ilmu
dan praktiknya itu berbeda”. Namun itu semua harus real.
Saya kecewa. Baru beberapa hari saya bekerja, ilmu dan
praktik itu berbeda namun tidak rasional.
Dimulai dengan obat kebangsaan. Menyebutnya saja saya ingin tertawa. Tahukah
apa itu obat kebangsaan ? Pamol, Dexa, CTM. Benar sekali, obat ini paling
sering ada dalam tiap terapi. ISPA, meriang, Febris, Hipertensi, obat
kebangsaan selalu ada.
Belum ada seminggu, saya sudah melakukan satu kesalahan.
Saat saya melakukan homecare dan harus memberikan suntikan pada seorang kakek,
tidak sengaja jarum suntik itu mengenai tangan saya. Bukan mengenai namun lebih
tepatnya menusuk jari saya. Saya panic. namun saya tetap menggunakan jarum yang
tidak steril itu untuk memberikan suntikan kepada kakek. Andai saya membawa
jarum suntik yang lain, pasti saya akan menggunakannya. Setelah menyuntik
timbul perasaan bersalah dan juga khawatir… bagaimana jika kakek itu sampai
terkena HIV/AIDS gara-gara keteledoran saya. Saya benar-benar merasa bersalah.
Namun kita tutup dulu cerita penyesalan ini sampai sini.
Kembali ke klinik. Ternyata bidan Martin menyediakan
fasilitas untuk melakukan pemeriksaan cek gula darah, kolesterol, dan asam
urat. Bagus sekali bukan, dengan begini pasien dapat dengan mudah memeriksakan
kesehatan. Awal mula saya mengamati bagaimana cara melakukan pemeriksaan
tersebut. Saya melihat bidan Martin melakukan pemeriksaan pada seoran pasien
yang ingin mengetahui gula darahnya. Oww…ternyata seperti itu caranya. Saya
bisa jika nanti harus melakukannya sendiri. Kemudian datang lagi seorang pasien
yang ingin melakukan cek gula darah, sewaktu itu ada bidan Martin di klinik
jadi saya tidak harus mengerjakannya. Namun…tunggu…ada yang aneh..bukannya
seharusnya setiap melakukan pemeriksaan darah, jarum pada lanset harus diganti,
mengapa ini tidak?? saya simpan rasa penasaran itu sampai pemeriksaan selesai.
Setelah pemeriksaan selesai, saya bertanya, “ Bu, jarum dilansetnya nggak
diganti yah?” Dan tahu apa jawabannya, “ Iya, memang harus diganti. Tapi gimana
lagi jarumnya sudah habis.”
Tahukah betapa saya merasa bersalah sekali karena menyuntik
seorang kakek dengan jarum bekas tusukan jari saya. Dan sekarang saya melihat
satu jarum yang digunakan untuk menusuk jari banyak pasien, ckckck…
Astagfirullahaladzim…
Satu hal yang saya lakukan bertentangan dengan ilmu yang
saya dapat dan juga hati nurani saya. Belum ada seminggu saya menjadi asisten,
namun pengalaman yang tidak baik dicontoh yang saya dapatkan. Saya tahu tarif
berobat ditempat ini relative murah. Untuk anak-anak hanya 15 ribu, sedangkan
dewasa 20 ribu. Jika saya benar-benar menjadi seorang bidan dan memiliki klinik
sendiri, saya berani memasang tariff sedikit lebih mahal asal fasilitas dan
pelayanan terjamin. Catatan seorang bidan 1 : Ada harga ada nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar