Jumat, 04 Mei 2012

Catatan Bidan 1

Catatan Bidan 1…
Awal tulisan ini. Entah apa yang ingin aku tulis, namun sesuatu yang pasti aku ingin ada sebuah catatan perjalanan selama aku menjalani profesiku sebagai seorang yang disebut BIDAN.
Catatan ini aku mulai dengan sebuah perasaan setelah aku lulus dari tempatku selama 3,5 tahun belajar mengenai awal kehidupan, wanita, dan anak. Ternyata memang betul masa-masa kuliah adalah masa yang paling menyenangkan. Setelah aku lulus, dimulailah masa yang disebut pengangguran. Luntang-lantung kesana kemari mencari pekerjaan. Dan pada saat itu aku pun sama sekali belum mengantungi lisensi sebagai bidan. Ijazah boleh tertulis “ Mutiara Dewanti, A. Md. Keb.”, tapi itu semua belum cukup. Inilah hidup nyata yang harus dihadapi sebagai calon bidan yang sesungguhnya setelah lulus kuliah. Tidak perlu menganggur lama, cukup 1 bulan lebih sedikit saja, aku sudah menjabat sebagai “Asisten Bidan”.
Orang awam mungkin menganggap jabatan itu adalah sesuatu yang keren. Salah. Asisten bidan bagiku adalah sebuah batu untuk aku melakukan ancang-ancang melompat tinggi, asisten bidan adalah sebuah lapangan luas dimana aku mempersiapkan pesawatku agar dapat lepas landas dan terbang tinggi, dan asisten bidan adalah sebuah ruang tunggu dimana aku mempersiapkan mental dan fisik jika nanti tiba saatnya aku dipanggil ke ruang pesta sesungguhnya.
Itu semua benar adanya. Di sebuah Bidan Praktek Swasta aku membulatkan tekad untuk belajar. Disebuah desa dan tempat yang tentu saja aku pikir aku tidak menyukainya. Aku bertemu dengan seorang bidan yang baik. Sebut saja bidan Martin.Sedikit deskripsi tentangnya…baik, cantik, murah senyum dan tegas. Beruntung sekali aku menjadi asistennya.
Bidan Martin, S.ST., dari gelarnya saja sudah pasti beliau lulusan D4 Kebidanan. Entah ilmu seperti apa yang beliau dapatkan di sebuah universitas di kota Apel yang kebanyakan mahasiswanya berasal dari daerah timur itu. Mengapa aku berbicara seperti ini? Aku setuju tentang pernyataan bahwa “ilmu dan praktiknya itu berbeda”. Namun itu semua harus real.
Saya kecewa. Baru beberapa hari saya bekerja, ilmu dan praktik itu berbeda namun tidak  rasional. Dimulai dengan obat kebangsaan. Menyebutnya saja saya ingin tertawa. Tahukah apa itu obat kebangsaan ? Pamol, Dexa, CTM. Benar sekali, obat ini paling sering ada dalam tiap terapi. ISPA, meriang, Febris, Hipertensi, obat kebangsaan selalu ada.
Belum ada seminggu, saya sudah melakukan satu kesalahan. Saat saya melakukan homecare dan harus memberikan suntikan pada seorang kakek, tidak sengaja jarum suntik itu mengenai tangan saya. Bukan mengenai namun lebih tepatnya menusuk jari saya. Saya panic. namun saya tetap menggunakan jarum yang tidak steril itu untuk memberikan suntikan kepada kakek. Andai saya membawa jarum suntik yang lain, pasti saya akan menggunakannya. Setelah menyuntik timbul perasaan bersalah dan juga khawatir… bagaimana jika kakek itu sampai terkena HIV/AIDS gara-gara keteledoran saya. Saya benar-benar merasa bersalah. Namun kita tutup dulu cerita penyesalan ini sampai sini.
Kembali ke klinik. Ternyata bidan Martin menyediakan fasilitas untuk melakukan pemeriksaan cek gula darah, kolesterol, dan asam urat. Bagus sekali bukan, dengan begini pasien dapat dengan mudah memeriksakan kesehatan. Awal mula saya mengamati bagaimana cara melakukan pemeriksaan tersebut. Saya melihat bidan Martin melakukan pemeriksaan pada seoran pasien yang ingin mengetahui gula darahnya. Oww…ternyata seperti itu caranya. Saya bisa jika nanti harus melakukannya sendiri. Kemudian datang lagi seorang pasien yang ingin melakukan cek gula darah, sewaktu itu ada bidan Martin di klinik jadi saya tidak harus mengerjakannya. Namun…tunggu…ada yang aneh..bukannya seharusnya setiap melakukan pemeriksaan darah, jarum pada lanset harus diganti, mengapa ini tidak?? saya simpan rasa penasaran itu sampai pemeriksaan selesai. Setelah pemeriksaan selesai, saya bertanya, “ Bu, jarum dilansetnya nggak diganti yah?” Dan tahu apa jawabannya, “ Iya, memang harus diganti. Tapi gimana lagi jarumnya sudah habis.”
Tahukah betapa saya merasa bersalah sekali karena menyuntik seorang kakek dengan jarum bekas tusukan jari saya. Dan sekarang saya melihat satu jarum yang digunakan untuk menusuk jari banyak pasien, ckckck… Astagfirullahaladzim…
Satu hal yang saya lakukan bertentangan dengan ilmu yang saya dapat dan juga hati nurani saya. Belum ada seminggu saya menjadi asisten, namun pengalaman yang tidak baik dicontoh yang saya dapatkan. Saya tahu tarif berobat ditempat ini relative murah. Untuk anak-anak hanya 15 ribu, sedangkan dewasa 20 ribu. Jika saya benar-benar menjadi seorang bidan dan memiliki klinik sendiri, saya berani memasang tariff sedikit lebih mahal asal fasilitas dan pelayanan terjamin. Catatan seorang bidan 1 : Ada harga ada nilai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar